"KESULITAN TESIS ANDA adalah INSPIRASI KAMI"

Sabtu, 28 September 2013

MENJADI PENGAWAS BERKARAKTER



Abstrak
Pengawas  sekolah  memiliki  peran  yang  signifikan  dan  strategis  dalam proses dan hasil pendidikan yang bermutu di sekolah. Dalam konteks ini peran pengawas sekolah meliputi pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan, dan tindak lanjut pengawas yang harus dilakukan secara teratur dan berkesinambungan Peran tersebut berkaitan dengan tugas pokok pengawas dalam melakukan supervisi manajerial dan akademik serta pembinaan peran pembinaan, pemantauan dan penilaian.
Untuk melaksanakan perannya dengan baik, selain kompetensi yang mumpuni, juga diperlukan pribadi yang unggul. Sesuai dengan penciptaan pendidikan berkarakter, maka dibutuhkan pula pengawas sekolah sebagai pemimpin yang berkarakter. Paduan antara profesionalisme dan karakter unggul akan membawa mutu pendidikan Indonesia pada kualitas tinggi.

Kata kunci: pengawas, profesional, berkarakter

PENDAHULUAN
Menurut struktur Departemen Pendidikan Nasional, bahwa yang termasuk kategori supervisor dalam pendidikan adalah kepala sekolah, penilik sekolah, dan para pengawas di tingkat kabupaten/kotamadya, serta staf kantor bidang yang ada di tiap propinsi (Purwanto, 2002: 78).
Dalam Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 dijelaskan bahwa tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan (Tim Fokusmedia, 2003: 3). Jadi, termasuk di dalamnya para pengawas yang dalam kedudukannya antara supervisor dan fasilitator diharapkan untuk bekerja keras dalam upaya pemutuan pendidikan. Karena itulah, dapat dirumuskan bahwa pencapaian mutu pendidikan yang tinggi, bukan saja terletak di tangan para guru, tetapi juga terletak di tangan para pengawas.
Secara kelembagaan, pengawas sekolah menengah merupakan tenaga kependidikan yang dalam strukturnya berada pada Dinas tingkat kabupaten / kotamadya, ia menangani dalam artian mengawasi beberapa sekolah menengah sesuai dengan wilayah yang diberikan kepadanya. Dalam kaitan ini pengawas sekolah harus memiliki komitmen kuat terhadap jabatan dan statusnya sebagai pegawai negeri sipil (PNS).
Di masa silam persepsi masyarakat tentang pengawasan sekolah boleh jadi hanya berkutat pada kunjungan penilik/pengawas ke kelas-kelas guna melakukan penilaian tentang ketepatan strategi pembelajaran oleh guru. Hingga sekarang (mungkin) masih banyak yang menganggap profesi pengawas sekolah sebagai profesi penyiapan diri sebelum seseorang yang pernah menjadi kepala sekolah atau guru menjalani pensiun (Utari, 2013).
Mustahil untuk memberdayakan pengawas sekolah tanpa adanya kompetensi yang cukup. Tidak menutup mata bahwa dari sisi rekrutmen pemerintah telah menyelenggarakan diklat calon pengawas sekolah yang mata diklatnya mengacu pada keenam ranah kompetensi pengawas sekolah. Namun demikian, kebutuhan pembinaan dari eksternal yang dilaksanakan oleh pemerintah, tentu bukan hanya pada saat rekrutmen, tetapi juga dalam masa jabatan. Keenam ranah kompetensi yang menjadi mata diklat tersebut tidak akan dipraktekkan sebagaimana mestinya bila tidak ada dukungan yang cukup terhadap peningkatan keterampilan pengawas, dan pemberian motivasi serta kepuasan kerja yang cukup (Utari, 2013).
Kepemimpinan berkarakter sangat terkait dengan pendidikan karakter yang saat ini menjadi hangat dalam kajian akademik mengenai pendidikan di Indonesia. Kepemimpinan berkarakter merupakan syarat mutlak untuk dimilikinya perilaku berkarakter pada bawahan / rekan kerja. Mengapa demikian? Karena perilaku  berkarakter bawahan / rekan kerja merupakan perilaku yang dihasilkan dari proses belajar terhadap lingkungannya. Interaksi antara bawahan / rekan kerja  dengan kepemimpinan atasan tidak terbatas pada interaksi secara langsung di lapangan, tetapi juga terjadi dari hasil  interaksi antara  rekan kerja dengan segala bentuk hal dan karya yang dihasilkan dan dikesankan oleh kepemimpinan atasan. Jadi dalam arti yang luas, kepemimpinan berkarakter melibatkan semua hal yang dihasilkan oleh pemimpin, dalam hal ini adalah pengawas sekolah, yang kemudian akan berinterkasi / berpadu / menyatu dengan kinerja para rekan kerja.
Oleh karena itu diperlukan usaha yang keras dalam rangka mewujudkan mutu pendidikan yang berkualitas di Indonesia, yang salah satunya adalah menjadi pengawas sekolah yang profesional dan berkarakter.

Kamis, 01 Agustus 2013

Tips Menyusun Metodologi Penelitian Skripsi Tesis

Dalam menyusun penelitian (research) baik penelitian skripsi maupun tesis, metode atau metodologi penelitian yang digunakan mutlak harus disertakan. Metode atau metodologi penelitian ini akan menggambarkan bagaimana langkah atau strategi peneliti dalam menjawab perumusan masalah penelitian, yang hasil dari jawaban atas perumusan masalah tersebut akan diuraikan dalam bab selanjutnya yaitu bab hasil penelitian dan pembahasan. Dalm artikel ini, saya tidak akan menguraikan berbagai jenis penelitian yang sangat banyak jumlahnya, akan tetapi hanya akan saya uraikan hal-hal yang sifatnya umum digunakan dalam penelitian skripsi dan tesis, dan uraian saya tentang jenis penelitian dalam kaitannya dengan menyusun metode penelitian / metodologi penelitian disini lebih bersifat aplikatif (terapan) dan bukan dalam konteks teoritis semata.
Dalam menyusun metodologi (metode) penelitian, perlu dimasukkan hal-hal sebagai berikut:
Jenis penelitian (research type).
Jenis penelitian ini berkaitan dengan sifat data dan cara atau teknik analisis data yang digunakan. Apabila data yang digunakan atau data yang dianalisis adalah data numerik (angka) dan cara analisisnya dengan cara matematis atau menggunakan teknik statistik, maka jenis penelitian tersebut adalah penelitian kuantitatif. (quantitative research) (kuantitas berkaitan dengan angka nominal atau bilangan yang dapat dihitung) Sedangkan, apabila data yang digunakan dalah data string atau sebagai bentuk record atas suatu kondisi tertentu (seperti kondisi sosial, kondisi seseorang / individu) yang lebih berkaitan dengan kualitas atau sifat dan perilakunya, maka jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Disamping itu, terdapat jenis penelitian lainnya, yaitu apabila data yang akan dianalisis adalah data tunggal yang diperoleh dari kasus tertentu, maka penelitian ini merupakan penelitian studi kasus (case research).
Dapat juga dalam jenis penelitian ini dimasukkan berdasarkan cara dan tujuan penelitiannya, yaitu dengan jenis penelitian eksperimen atau jenis penelitian tindakan (action research) (seperti tindakan kelas). Jenis penelitian eksperimen adalah penelitian untuk mencari suatu hubungan atau pengaruh suatu hal tertentu terhadap hal lainnya dalam kondisi alamiah. Maksud dari dalam kondisi alamiah disini adalah dalam penelitian tersebut tidak dilakukan tindakan yang sikluistik berulang-ulang yang sifatnya untuk memperbaiki hubungan yang terjadi. Apabila penelitian dilakukan dalam konteks mengkaji suatu tindakan tertentu dengan tujuan untuk mengembangkan suatu metode kerja yang efisien, maka jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan (action research). Dalam metode tindakan, pada umumnya dilakukan dengan cara menganlisis tindakan pertama (mungkin dalam bentuk analisis pengaruh atau hubungan suatu hal dengan hal lainnya), yang selanjutnya dilakukan upaya solusi terhadap masalah dalam tindakan pertama untuk dikembangkan dalam tindakan kedua, yang selanjutnya diteliti lagi pengaruh yang ditrimbulkan dari suatu hal terhadap hal lain dalam tindakan kedua ini, dan seterusnya hingga membentuk beberapa siklus tindakan. Penelitian tindakan yang umum dilakukan adalah penelitian tindakan kelas untuk mengembangkan langkah-langkah efisien dalam model pembelajaran yang diterapkan. Dalam kaitannya dengan menyusun metodologi penelitian (metode penelitian), jenis penelitian ini tidak mutlak untuk dicantumkan.
Waktu dan tempat penelitian.
Waktu dan tempat penelitian mutlak harus dicantumkan dalam metodologi penelitian (metode penelitian). Waktu adalah watu keseluruhan dari jalannya penelitian yang berkaitan dengan pengambilan data saat penelitian. Sebagai contoh adalah apabila hendak mengambil data untuk nilai siswa semester II, maka waktu penelitian adalah semester II tahun ajaran?. yang dimulai pada bulan ? tahun ?. sampai dengan bulan ? tahun ?. Sedangkan apabila tidak berkaitan dengan waktu-waktu khusus seperti itu, maka dicantumkan waktu dari awal dilaksanaknnya penelitian sampai akhir penelitian. Tidak boleh dilupakan adalah tempat penelitian, dan usahakan untuk memberikan alasan yang logis ilmiah mengapa tempat tersebut dipilih sebagai lokasi penelitian.
Data dan Pengumpulan (collecting) Data.
Dalam poin ini, perlu diuraikan apakah data dalam penelitian adalah data primer atau data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh melalui pengukuran langsung oleh peneliti yang bukan berasal dari data yang telah ada, sedangkan data sekunder adalah data yang dikumpulkan oleh pihak lain dan telah didokumentasikan sehingga dapat digunakan oleh pihak lain (peneliti). Perlu juga diuraikan data-data apa saja yang digunakan dalam penelitian secara jelas. Sedangkan dalam pengumpulan data, perlu diuraikan bagaimana cara peneliti memperoleh dan mengumpulkan data, dengan menggunakan media apa. Pengumpulan data dapat dilakukan dengan instrumen (media) kuisioner yaitu serangkain pertanyaan untuk dijawab responden, instrumen alat pengukur lainnya (seperti alat pengukur kondisi fisik suatu benda). Dapat juga digunakan teknik wawancara, yaitu data diambil bersadarkan wawancara peneliti terhadap responden. Dalam hal ini, peneliti melakukan wawancara berdasarkan panduan wawancara yang telah disusun untuk penelitian. Apabila panduan wawancara yang digunakan hanyalah bersifat pertanyaan dasar dan responden diharapkan dapat menjawab secara mengembang, maka tekik ini disebut dengan wawancara mendalam (circumstantial interview). Apabila data yang digunakan adalah data sekunder, maka pada umumnya pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan dokumentasi dan observasi. Dokumentasi adalah memanfaatkan dokumen yang sudah ada, dan dalam hal ini perlu diuraikan dokumen apa saja secara jelas, sedangkan observasi adalah pengamatan kualitatif secara langsung oleh peneliti untuk mengambil data-data berdasarkan kondisi tertentu sesuai dengan maksud penelitian. Sebagai contoh observasi disini adalah tindakan peneliti mengamati perilaku siswa saat dilaksanakannya penelitian.
Populasi, Sampel, dan Sampling.
Penelitian yang melibatkan banyak data akan menjadi sulit dilaksanakan atau tidak efektif apabila dilakukukan dengan menggunakan seleuruh data yang ada. Apabila jumlah data yang diteliti kurang dari 100 atau dirasa masih mudah untuk diambil semuanya, maka sebaiknya seluruh data tersebut digunakan, sedangkan apabila jumlah data lebih dari 100 atau dirasa akan banyak kesulitan apabila digunakan seluruhnya, maka sebaiknya dilakukan sampling. Populasi merupakan seluruh unit yang dikaji dalam penelitian. Sebagai contoh adalah siswa SMP Negeri 1 Yogyakarta. Sedangkan sampel adalah sebagian dari populasi yang digunakan sebagai data dalam penelitian. Sampel ini haruslah representatif atau mewakili, yaitu satu sampel diambil pada data yang sekiranya memiliki kesamaan sifat dengan data lainnya (sampel diambil darai kelompok yang homogen). Cara pengambilan sampel agar memenuhi kriteria representatif ini disebut sebagai sampling. Terdapat beragam teknik sampling atau pengambiulan sampel, yaitu:
Random sampling, yaitu sampel diambil secara acak dari populasi yang heterogen atau memiliki variasi sifat yang besar. Teknik ini merupakan pengambilan secara acak, tidak memilih, agar memperoleh sampel yang merata. Dengan teknik random, seluruh anggota populasi memiliki peluang yang sama untuk terpilih. Teknik random ini dapat dilakukan seperti dengan loteray atau pemilihan secara acak dengan media lainnya.
stratified sampling. Stratifikasi adalah perilaku pemberian tingkatan atau kelas pada data. Dalam stratified sampling, data sebelumnya dikelompokkan kedalam tingkatan-tingkatan tertentu, seperti tingkatan tinggi, sedang, rendah, atau baik, sedang, buruk, kemudian sampel diambil dari setiap tingkatan tersebut. Misalkan penelitian yang dilakukan adalah pengaruh Kurikulum saat ini (KTSP) terhadap perstasi siswa, maka dapat dilakukan stratified sampling dengan cara mengelompokkan siswa kedalam tingkatan pandai, sedang, tidak pandai, dan kemudian dari masing-masing tingkatan tersebut diambil dalam jumlah yang memadai. Apabila cara pengambilan sampel dalam setiap tingkatan (strata) tersebut adalah acak, maka teknik sampling ini dikenal dengan stratified random sampling. Dalam stratified sampling ini, tiap kelompok jelas memiliki populasi yang homogen bersadarkan tingkatannya. Sebagai contoh adalah dalam kelompok siswa berprestasi baik, maka seluruh anggota kelompok jelas memiliki nilai tertentu yang dikategorikan dalam tingkatan baik.
Cluster Sampling. Cluster adalah kelompok. Cluster sampling merupakan pengambilan sampel dari kelompok-kelompok kecil yang sifat antar kelompok tersebut tidak menunjukkan tingkatan. Dalam cluster sampling ini, anggota setiap kelompok tidaklah homogen seperti dalam strtified sampling. Pengelompokan dalam cluster sampling ini sifatnya sekedar untuk mempermudah jalannya penelitian. Sebagai contoh adalah dalam penelitian tentang pemanfaatan biotech di Kabupaten Klaten, maka dilakukan pemabgian wilayah kabupaten menjadi kelompok kecamatan-kecamatan, dan kemudian sampel diambil dari setiap kecamatan tersebut. Apabila pengambilan sampel tiap kelompok ini dilakukan secara random, maka teknik ini dikenal dengan cluster random sampling. Tentusaja kondisi petani dalam setiap kecamatan tersebut tidaklah homogen, sehingga dengan memadukannya dengan random sampling akan lebih mampu memberikan data yang lebih representatif.
Veriabel Penelitian
Cara mudah untuk memahami variabel penelitian ini adalah dengan pengertian bahwa variabel adalah pokok hal yang akan diteliti. Sebagai contoh adalah dalam penelitian Pengaruh Model Pembelajaran Terhadap Prestasi Siswa, sebagai variabel penelitiannya adalah model pembelajaran dan prestasi siswa. Dalam hal ini jelas penelitian harus mengambil data pada tentang model penelitian dan data preastasi siswa dalam setiap model pembelajaran yang dikembangkan. Devinisi dari variabel penelitian adalah konsep yang memiliki bermacam-macam nilai yang besarnya dapat berubah-ubah. Sedangkan yang dimaksud dengan konsep didini adalah gambaran terhadap suatu venomena yang abstrak. Untuk lebih jelas menggambarkan variabel adalah dengan membicarakan variabel prestasi siswa. Dalam hal ini, prestasi siswa akan memiliki bermacam-macam nilai yang berbeda untuk setiap siswa. Prestasi siswa merupakan kumpulan dari nilai-nilai siswa yang diperoleh dalam test baik yang hanya dilakukan sekali maupun beberapa kali. Dalam hal ini prestasi siswa merupakan variabel karena nilainya banyak, bermacam-macam, dan dapat berubah-ubah, yang selanjutnya akan dianalsis dalam penelitian.
Dalam menyusun metodologi penelitian, variabel penelitian mutlak dicantumkan apabila penelitian menggunakan lebih dari satu variabel, sedangkan apabila hanya menggunakan satu variabel maka tidak mutlak dicantumkan. Variabel penelitian ini juga tidak perlu dicantumkan dalam penelitian kualititaf, sebaba penelitian kualitatif tidak berhubungan dengan nilai atau kuantitas, akan tetapi lebih cenderung berkaitan dengan sifat, mutu, karakter, dan hal-hal lain yang tidak diukur dengan matematis untuk keperluan penelitian. Dalam menyusun metode (metodologi) penelitian, perlu diuraikan secara jelas variabel apasaja yang akan diukur dan variabel mana yang menjadi variabel bebas (independent variable) dan terikat (dependent variable). Variabel bebas adalah variabel yang nilai tidak tergantung pada variabel lain, sedangkan variabel terikat adalah variabel yang nilainya tergantung pada variabel lain yaitu pada variabel bebas. Sebagai contoh dalam penelitian pengaruh jam belajar dan bimbingan orang tua terhadap prestasi siswa, jelas terlihat bahwajam belajar dan bimbingan orang tua memiliki kecenderungan mempengaruhi atau tidak terikat dengan variabel lain, sedangkan prestasi siswa sebagai variabel yang akan dipengaruhi atau tergantung dengan variabel lain. Dengan demikian, jam belajar dan bimbingan orang tua adalah variabel bebas sedangkan prestasi siswa adalah variabel terikat.
Teknik Analisis Data
Teknik analisis Data berkaiatan dengan bagaimana penelitian akan menerapkan prosedur penyelesaian masalah untuk menbjawab perumusan masalah penelitian. Dalam menyusun metode atau metodologi penelitian, teknik analisis data mutlak dicantumkan dan diuraikan secara jelas dan rinci. Apabila dilakukan secara kuantitatif, maka teknik kuantitatif apa saja yang digunakan, serta bagaimana rumusan dan ketentuan penghitungannya. Apabila dilakukan secara kualitatif, maka perlu diuraikan tahapan-tahapan kualitatif yang dilaluinya secara jelas. Dalam teknik analisis data perlu juga diuraikan tentang bagaimana teknik untuk menguji atau memperoleh data yang valid dan reliabel. Dalam hal ini terdapat banyak perbedaan dalam penelitian kualitatif dan kuantitaif.

Rabu, 31 Juli 2013

Tesis: IMPROVING STUDENTS’ READING COMPREHENSION USING COMBINATION OF PICTURE AND READING MATERIALS



ABSTRACT
 IMPROVING STUDENTS’ READING COMPREHENSION USING COMBINATION OF PICTURE AND READING MATERIALS (An Action Research on the Second Grade Students of SMP xxxxx  Academic Year 2010 / 2011). Thesis. English Department of Graduate Program, . 2011

 The students’ problem was lack of reading comprehension. It is caused by the lack of reading English texts and less motivation of reading. The research is carried out to arouse the students’ motivation to read, in this case, reading English texts. Hopefully, they can improve their reading comprehension.   
The data were collected through observation, interview and documentation. The qualitative data were collected through the students’ participation in reading class. The observation is on the students’ ability to do the exercises, join the group discussion and doing the tests. The data were supported by the informal interview after the reading class has been finished. It is carried out to find out the students’ problems during the use of pictures and reading materials in the reading class. The quantitative data were obtained through the result of exercises and the post-test.
The findings show that the use of pictures and reading materials in readiing class gives some positive aspects. The first effect is on the students’ affective factors such as motivation and self confident. The second effect is the change of the students’ attitude toward the teaching learning process. The third effect is on the active participation during the reading class. The last but not the least is the improvement on reading comprehension, especially the reading score.
The research finding implies that the use of pictures and reading materials can be an alternative technique to promote the students’ reading comprehension. Therefore, it is recommended that the English teachers apply it. It is also recommended that the institution socialize the findings since it is useful for English subject. The last is for the other researcher to develop the aspect of writing skill which has not been developed in the research.

Keywords: improving, reading comprehension, picture, reading materials

Jurnal: Effectiveness of Blogging to Practice Reading at a Freshman EFL Program

Bertha Leiva de Izquierdo
Universidad Simón Bolívar

Leticia Esteves Reyes
Universidad Simón Bolívar

ABSTRACT
The main objective of this action research is to explore the effectiveness of blogs to promote frequent extra reading practice in a freshman EFL science and technology reading program at a public university. Sociocultural theory and the revival of Vygostky’s constructivism have made us rethink how to approach the learning-teaching process in the twenty-first century. Are we really helping our students acquire skills that will be crucial in their future? Are we using learning resources that will make them connect socioculturally and learn from the interactions among themselves and others? Many of the low proficiency students in this program do not have regular access to a computer and have not worked with blogs before. There is not only a perceived socioeconomic divide but differences in skills and knowledge about computers are also quite noticeable. The materials and activities of three class blogs used during the 2007-2008 academic year will be presented, as well as the interactions that went on among students. Results show that these online social environments are very well perceived by most students and that they are quite effective when new ways of learning outside the traditional classroom are explored.

INTRODUCTION
The use of technology in language teaching and learning has been around for many years. Language labs, tape recorders, overhead projectors, TV sets and videos date from the 60‘s and 70‘s. Computer Assisted Language Learning (CALL) appeared on the scene in the early 80‘s with the use of computer programs while the integration of Information and Communications Technology (ICT) came to be known in the 90‘s moving ahead from static language programs to the dynamic World Wide Web and the so-called web-based tools. Nowadays with the tools of the Web 2.0 geared toward individuals and groups, educational institutions, universities specifically, have to take advantage of the easy to handle and high potential of these technologies which seem to fit perfectly in project collaboration and group learning (Swain, 2008).
Undoubtedly, the use of ICTs has become increasingly important in our classrooms as part of the English Language Teaching practice (ELT), as well as in our students‘ and our own lives. Why is that? How many of us start our daily routine by checking email accounts or reading on-line newspapers? How many people use different search engines like www.google.com, www.altavista.com, and www.yahoo.com on a daily basis? How many people use Yahoo or Hotmail Messenger and Skype to communicate live with coworkers, friends, relatives, students, and even unknown people via the web? How many of us have joined online social networks such as Facebook, Bebo, Flixter, hi5 or Ning to create communities of people who share interests and activities or to bring together groups of people who are fascinated by exploring other people‘s interests and activities?
Apart from the widespread use of the Internet and its applications, the number of hours students spend on line daily and their abilities to multi-task cannot go unnoticed. Their common practice and sometimes obsessive use of video games off and on-line is striking; and the gap between those who have access to technology and those who do not is much wider day by day. There is an increasingly marked socio-economical difference between people who use computers and those who do not— a phenomenon experts in the area refer to as ―digital divide.‖ According to Lu (2001) ―there are great disparities in opportunity to access the Internet and the information and educational/business opportunities tied to this access between developed and developing countries‖ (p. 1). In this observable fact, the rich get richer and the poor get poorer, at least with regard to technology, as the gap between the two widens. The idea originally came about when comparisons were made in Internet access between rural and urban areas of the U.S. (Bouza, 2003; Bucy, 2000; Robinson & Nie, 2003)
There are manifold answers to the question of why the Internet plays an important role in our daily routines, and more importantly in this article, the reasons why ICTs have gained importance in the practice of ELT. Some of these reasons have been discussed by Dudeney and Hockly (2007). First, it is a fact that Internet access and broadband are becoming cheaper and more widely available by means of cable, satellite or wireless connections either at home, at work, at educational institutions or at cyber cafes. Second, since we live in the age of computers, many young learners are being born and are growing up with technology as a natural and integrated part of their lives. Third, as an international language, English is being used in contexts mediated by technology, especially the Internet, as it provides us teachers with new opportunities for authentic tasks as well as a wide range of ready-made ELT materials. Many textbooks and teacher resources come with additional materials that encourage the use of technology in the classroom either by incorporating interactive CD ROMS or by providing links to various websites where students can reinforce their L2 skills even outside the classroom without necessarily having to abandon the learning environment. All of these ideas have come up from the fact that ―by providing digital students with opportunities to learn in ways that satisfy their needs, they will become more engaged in the learning process and in realizing their potential‖ (Bedenbaugh, 2006).
With the presence of the Internet and computers almost everywhere and in many learning environments, it is hard to believe that there are still people and professionals from different fields, teachers included, who are afraid of using technology. These people are called ―technophobes‖ while the term ―dot com generation‖ has been coined for those who have grown up using technology and who feel at ease and very confident in front of a computer. As opposed to ―technophobes,‖ technology enthusiasts are known as ―technogeeks.‖ Now, as educators we must ask ourselves: Where do we stand? Where do we belong?
Prensky (2001a, 2001b, 2005) refers to today‘s students as ―digital natives‖ since they have no particular accent when speaking about technology: ―They are fluent in the digital language of computers, video games, and the Internet‖ (Prensky, 2005, p. 8). On the other hand, he also refers to the ―digital immigrants‖ as those who have come to the world of technology a little later: ―We have adopted many aspects of the technology, but just like those who learn another language later in life, we retain an ‗accent‘ because we still have one foot in the past. We will read a manual, for example, to understand a program before we think to let the program teach itself. Our accent from the pre-digital world often makes it difficult for us to effectively communicate with our students‖ (Prensky, 2005, p. 8). In many cases, experienced teachers are categorized as digital immigrants while young learners are considered digital natives. Jukes (2007) from the InfoSavvy Group has pointed out that ―by being DSL - speaking digital as a second language - many of us are distracted and disoriented by the multiple, simultaneous, hyperlinked information sources inherent to the new technologies‖ (p. 4). He and McCain (2008) have come to the conclusion that the disconnection between ―digital natives,‖ (today‘s students) and ―digital immigrants,‖ (many adults) results from poor communication. They speculate that most misunderstandings come from the differences between how digital students learn and how non-digital teachers teach. After an extensive research that must be followed by careful reflection, they have listed some differences between digital native learners (DNL) and digital immigrant teachers (DIT). DNLs would rather get information fast from multiple multimedia sources while DITs prefer to get it slowly from limited sources. DNLs prefer parallel processing and multitasking but DITs promote singular processing and single tasking. The first favor processing pictures, sounds and video before text while the second choose text over pictures, sounds and video. DNLs are used to random access to hyperlinked multimedia information but DITs give information in a linear way, logically and sequentially. While DNLs would rather network and interact with many people simultaneously, DITs prefer students to work independently. DNLs want instant rewards but DITs give delayed gratification. Digital native learners prefer learning that is pertinent, immediately useful and enjoyable but digital immigrant teachers prefer to teach to the syllabus and standardized tests.
Similarly, researchers from the Berkman Center for Internet and Society at Harvard Law School and the Research Center for Information Law at the University of St. Gallen in Switzerland, who have been doing research on Digital Natives (DN), claim that not all youth are necessarily DN and that being a DN has more to do with a common global culture, with certain characteristics and experiences related to how they interact with technologies, information, one another and with others. This group of researchers point out that even subjects who were not ‗born digital‘ can be connected and updated as much as the younger crowd, some of whom might not be complete digital natives.
As teachers of the 21st Century, we must visualize the continuum of ―technophobes and technogeeks‖ as well as that of the ―digital natives and the digital immigrants‖ as Dudeney and Hockly (2007) point out, and we must figure out where we stand between these two extremes or if we have stepped on the spaces around as clearly illustrated by Wesley Fryer in Figure 1.1
From the times of Paulo Freire to our days, we have wanted to empower students, give them more freedom and responsibility about their own learning, and provide them with the right environment that would foster sociocultural and collaborative interaction, promote autonomous learning and help them learn to learn. The revival of Vygostky‘s ideas and the advent of constructivism and sociocultural theory have led us to rethink how we approach the teaching-learning process in the 21st Century and what the role of technology in education is. Are we truly helping our students learn and practice key skills that will allow them to successfully carry out successfully their professional, personal and social activities in the near future? Are we really using educational resources that can provide our students with opportunities to connect among themselves socioculturally and learn from the interactions between them and other groups?

Jurnal: English Reading Instruction in Elementary Schools in China Ran Hu East Carolina University

ABSTRACT
The purpose of this descriptive qualitative study is to explore English reading instruction in elementary schools in China under the revised curriculum in 2001. Eleven English teachers in three elementary schools in Beijing participated in this study. Data were collected through semi-structured interviews, field observations, and documents. The study reports seven aspects of knowledge that beginning English reading instruction in these schools has covered, including phonemic awareness, phonics, fluency, vocabulary, comprehension, grammar, and cultural knowledge, as well as the instructional activities provided by these teachers.

INTRODUCTION
No one can deny the fact that English has become the language of globalization because of its use in social, economic and political fields in many countries. With China‘s entry into the World Trade Organization in 2001 and its hosting of the Olympics in 2008, English has been closely associated with Chinese people‘s daily life. It has become a key to success and to the world outside China. The Ministry of Education (2006) has reported that more than 300 million Chinese people are learning English, and that the total number of English learners in China will surpass the total number of native English speakers in the world in the next few years. The hunger for learning English has made it a required subject in elementary school. In 2001, English became a required subject starting at third grade (MOE, 2001a). The Ministry also suggested that some elementary schools could start English instruction as early as first grade if they had the capacity. The 2001 National English Curriculum Standard (NECS) promoted the idea of developing students‘ comprehensive language abilities through language application (MOE, 2001b). Under this revised curriculum, language skills, including listening, speaking, reading, and writing, should be the foci. However, reading and listening should be emphasized first and foremost because the abilities to read and comprehend assist writing and speaking abilities (Bao, 2004; 2006).
Though it has been seven years since the implementation of the new curriculum, the teaching of English at elementary school is still in the experimental stage. There remain problems associated with this implementation, such as the insufficiently developed curriculum to include English as a required subject in elementary schools and the shortage of qualified teachers and resources (Bao, 2004, 2006; Cui, 2002). Given the current situation, the purpose of this descriptive study is to reveal what and how English reading is taught in elementary schools in Beijing China. Three elementary schools in Beijing were selected based on the convenience sampling method and 11 English teachers in these schools participated in the study. What aspects of English reading are taught in elementary schools in Beijing China and how they are taught? comprises the study‘s major research question.

WHY FOCUS ON READING?
The term Reading has different definitions in different times and under different contexts. In the United States, where English is the native language, three definitions of reading were identified and have influenced the literacy programs for years (Foertsch, 1998). The first definition stated that learning to read means learning to pronounce words; the second that learning to read means learning to identify words and get their meaning; and the third that learning to read means learning to bring meaning to a text in order to get meaning from it. Collectively, these three definitions reflected a complete prospective about reading. However, current literacy research suggests a more comprehensive view. The National Reading Panel (2000) reported that phonemic awareness, phonics, fluency, vocabulary and comprehension are the five components to be included in reading instruction. Other research also recognized the importance of skill instruction as one part of the reading process and recommended a balanced reading instruction for all (Allington & Cummingham, 1996; Au, 1993).
In the world of teaching English as a second or foreign language (ESL/EFL), reading as well as listening, speaking and writing have been identified as the four basic skills in language learning. Reading is considered especially valuable under the foreign language context because it is one major source for students to obtain language input (Ediger, 2001). The term reading has also been used to refer to two different processes: reading aloud from the print and reading for comprehension (Chastain, 1988). While both processes are important for learning to read a foreign language, most reading research to date has focused its attention on reading for comprehension in the Chinese context (Hu, 2007).
The 2001 NECS specified six objectives for reading instruction at elementary schools. It stated that students who complete elementary school should be able to (1) recognize words and phrases that they have learned (); (2) read easy words based on spelling rules (, ); (3) read and understand easy directions on the textbooks (); (4) read and understand the simple information on greeting cards (); (5) read and understand easy stories and essays with the help of illustrations and form the habit of reading based on semantic chunking (, ); and (6) read aloud stories and essays with fluency and accuracy () (MOE, 2001b, p. 11). These objectives emphasized both reading out loud and reading for meaning. Therefore, instructions should be provided to meet these goals.

Tesis: PENGELOLAAN PENDIDIKAN OLAHRAGA PERMAINAN BOLA VOLI YANG PRESTATIF



ABSTRAK

PENGELOLAAN PENDIDIKAN OLAHRAGA PERMAINAN BOLA VOLI YANG PRESTATIF. Tesis. Program Studi Manajemen Pendidikan Program Pascasarjana Universitas xxxx

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mendeskripsikan karakteristik perencanaan pendidikan olahraga bola voli prestatif di SMP xxx, (2) Mendeskripsikan karakteristik pelaksanaan dan pengembangan olahraga bola voli prestatif di SMP xxxx sebagai kegiatan ekstra kurikuler. (3) Mendeskripsikan karakteristik evaluasi olahraga bola voli prestatif di SMP xxxx. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, dan desain penelitian ini adalah desain penelitian deskriptif kualitatif. Metode penelitian yang digunakan adalah menggunakan metode observasi, metode wawancara, dan metode dokumentasi dalam mengumpulkan data serta informasi guna mendukung jalannya proses penelitian. Sumber data dari penelitian ini adalah siswa / atlit bola voli SMP xxxx, pelatih, dan guru olahraga di SMP xxxx. Data divalidasi dengan menggunakan trianggulasi data.
Hasil penelitian adalah : 1) Perencanaan pendidikan olahraga bola voli prestatif di SMP xxxx dilakukan dengan matang. Setiap pelatih pada pendidikan olahraga bola voli di SMP xxxx harus mengetahui unsur-unsur perencanaan pelatihan yang baik, antara lain: mengidentifikasi kebutuhan siswa, tujuan yang hendak dicapai, berbagai target dan strategi latihan yang relevan digunakan untuk mencapai tujuan dan evaluasi. Dalam merencanakan pendidikan olahraga bola voli di SMP xxxx, pelatih menyusun program latihan, menentukan target latihan, membentuk kelompok-kelompok latihan berdasarkan jenis kelamin dan usia atau kelas. 2) Pelaksanaan dan pengembangan olahraga bola voli sebagai kegiatan ekstra kurikuler di SMP xxxx ditunjang dengan adanya faktor-faktor yaitu; materi pelatihan yang jelas dan terarah, strategi dan program pelatihan yang teratur, terarah, dan menyesuaikan panduan dan target pelatihan, interaksi pelatih dan siswa yang baik, pelatih yang kompeten dan siswa yang memiliki motivasi tinggi.  3) Evaluasi sangat diperlukan untuk mengetahui perkembangan kemampuan siswa / atlit secara psikomotorik, afektif, maupun kognitif. Kemudian pelatih akan memberitahu siswa / atlit letak kemampuan mereka terhadap grafik kemampuan fisik, dan memberikan arahan dan bimbingan agar kemampuan siswa dapat lebih meningkat lagi. Evaluasi teknik meliputi teknik meningkatkan kemampuan fisik dan teknik permainan bola voli.
.

Kata Kunci: pengelolaan, pendidikan olahraga, permainan bola voli prestatif